Sabtu, 08 Juni 2013

Fatin Melawan Arus Jilbabphobia Industri Musik Indonesia


‘Jangan melihat seseorang berdasarkan apa yang
menutupi kepalanya, namun lihatlah bagaimana ‘isi’
otaknya alias pemikiran dan kiprahnya’, merupakan suatu
jawaban narasumber pada suatu acara di Oprah Show
beberapa tahun lalu. Oprah bertanya pada narasumber
dengan pertanyaan ‘,apakah ‘tutup kepala’ yang dipakai warga negeri tersebut merupakan suatu halangan untuk
‘maju’. Narasumbernya waktu itu seorang Ibu Negara
dan aktivis kemanusiaan dari Timur Tengah. Memang
topik tentang jilbab ini seakan tidak ada habisnya, dan
bahkan sering berujung kontra dan SARA. Kasihan sekali
‘jilbab’ itu ya, wong jilbabnya aja gokil cripi cripi adem ayem kok masih dikontroversikan juga ye, hehe.

Profesi pekerja seni konon merupakan pekerjaan yang
dikategorikan memiliki ‘kebebasan eksperesi’ yang tinggi.
Bahkan kebebasan ekspresi itu bisa di artikan ’se bebas-
bebasnya’ tanpa hambatan. Jilbab dianggap salah satu
hambatan besar untuk berkarya dan berekspresi di dunia
seni. Bahkan bisa jadi ada anggapan bahwa seorang pekerja seni tidak akan terkenal jika menggunakan
penutup kepala ini. Pekerja seni ini khususon untuk
industri musik tanah air yang mayoritas penduduknya
Muslim. Bila kita bandingkan dengan profesi lain di
negeri tercinta, maka jumlah pemakai jilbab untuk
seniwatinya termasuk yang paling sedikit.

Fatin Shidqia Lubis merupakan pendatang baru di
Blantika Musik Indonesia. seseorang memenangkan
suatu lomba mungkin merupakan hal yang biasa. Yang
menjadi luar biasa adalah ketika banyak barisan sakit hati
yang masih mempertanyakan kelayakan Fatin untuk
menjadi juara ajang lomba ini. Barisan sakit hati itu juga yang kebanyakan menyuarakan masalah berkategori
‘jilbabphobia’, ketika Fatinistic mampu mengcounter
Haters.

Jika ‘jilbabphobia’ ini terjadi di negara-negara Uni Eropa
atau U.S, tentulah bukan hal yang luar biasa. Memang
seperti itulah kenyataannya. Penulis juga memiliki
banyak pengalaman yang ‘tidak menyenangkan’
mengenai diskriminasi tutup kepala ini di negeri manca
tersebut. Informasi sepihak yang diterima masyarat disana membuat penulis cukup mafhum dan senyum na
na na na aja ketika diperlakukan demikian. Tetapi jika
‘jilbabphobia’ ini malah terjadi di lumbung mayoritas,
malah menimbulkan tanda tanya besar.

Ketika Fatin dengan ‘identitas’ nya mencoba menapaki
karier di dunia tarik suara, malah jilbabya yang heboh
dipermasalahkan. Barisan sakit hati itu tetap kekeuh
berpendapat bahwa kemenangannya hanya karena
‘jilbab’ yang akhirnya membuat orang simpati dan
mengirimkan sms, lalu menang. Terus ketika Fatin dibuli di Kompasiana dan di counter secara ilmiah oleh
Fatinistic, malah dibilang oleh barisan sakit hati itu kalau
Fatin sudah di dewa-dewa kan oleh Fatinistic dan dijuluki
Fatinmistik atau apalah itu. Tambah kelihatan lucu dan
menggemaskan ternyata membaca tulisan barisan sakit
hati yang sudah kehilangan amunisi itu.

Dalam profesi apapun, berprofesi yang mengikuti arus
akan lebih sedikit resikonya dibandingkan yang melawan
arus. Tantangan melawan ‘zona nyaman’ memang selalu
tidak mengenakkan. Dalam dunia pasar uang dan pasar
modal diistilahkan ‘high risk high return’. Namun segala
tantangan dan resiko itu bukan berarti ‘katakan tidak pada tantangan’. Fatin dengan identitas jilbanya ternyata
membuat banyak fihak kebakaran jenggot. Terlebih jika
akhirnya nanti Fatin tetap sukses dan eksis berkarya di
dunia seni Indonesia dengan tetap Istiqomah pada
identitasnya. Tentu akan berbondong-bondong para
pemula, anak muda berbakat yang akan mengikuti jejak Fatin dengan tetap membawa identitas aslinya.
Gambaran ini ternyata cukup mengkhawatirkan bagi
pemain di industri seni tersebut yang hanya bermodal
nyali tanpa prestasi.

Fatin sudah dua minggu memenangkan XFI dan kurang
lebih enam bulan menjadi pendatang baru di panggung
hiburan negeri kita. Fatin juga salah sedikit dari newbie
di industri seni yang sedang melawan gencarnya
kampanye ‘jilbabphobia’ disana. Waktu jualah nanti yang
akan membuktikan bahwa profesi penyanyi itu yang diandalkan adalah suaranya, dan modal itulah yang akan
menjadikan seorang penyanyi disebut ‘Diva’. Dan Fatin
dengan dukungan keluarga besar barunya yang bernama
Fatinistic itu tengah berjuang untuk membuktikan
bahwa seorang penyanyi itu yang dilihat itu ’suara’ nya
dan bukan ‘apa-apa yang menutup kepalanya’. Salam foyyaa…

Sumber: m.kompasiana.com/post/musik/2013/06/06/fatin-melawan-arus-jilbabphobia-industri-musik-indonesia/

Tidak ada komentar: